PANORAMA LAPANDOSO
Suara mesin tempel (Katinting) mewarnai perjalanan kami menuju Monumen Lapandoso. Sebuah Monumen yang menandakan awal masuknya agama Islam masuk di Jazirah Sulawesi. Tepatnya di Dusun Muladimeng Desa Pabbaresseng Kecamatan Bua Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Sebuah ikon budaya dan Sejarah di Tanah Luwu.
Kondisi Air laut yang Pasang menjadikan perjalanan kami menuju Lapandoso terasa indah, dipagi hari jam 9.00 awal Oktober 2010. Monumen yang berjarak 600 meter dari tanggul tempat nelayan dan petani rumput laut menambatkan perahunya. Dari sinipun kelihatan suasana indah kelihatan anak-anak memancing ikan di pinggiran Tanggul dan adapula yang mandi-mandi.
Tepat di Muara Sungai Pabbaresseng, di pinggir pantai sebelah kanan terlihat sebuah Monumen berbentuk Masjid dengan Kubah warna biru, disekitarnya Nampak hijau dengan tumbuhan Bakau (Mangrove) yang tumbuh disekitarnya.
Perahu perahu kecil atau masyarakat setempat menyebutnya Balak-balak yang kami tumpangi telah sampai di depan Monumen Lapandoso dan beristirahat di pondok yang telah tersedia. Alunan angin pantai yang berhembus dengan suhu 30 derajat Celsius itu membuat kesejukan.
Monumen Lapandoso dengan luas monumen berukuran 2,5 x 2,5 meter tersebut merupakan bangunan yang dikelola oleh masyarakat secara swadaya walaupun tidak ekslusif tetapi pengunjungnya cukup banyak setiap tahunnya.
Dengan nilai religiusnya Lapandoso menjadi tempat rekreasi masyarakat Kabupaten Luwu yang dapat dijangkau dengan mudah walaupun kondisinya tidak ekslusif tanpa fasilitas seperti penginapan, motorboat, dll tetapi tempat ini menjadi tujuan pariwisata, salah satu alasannya adalah Mengenang pendaratan Pertama Khatib Datok Sulaiman sang pembawa Agama Islam di Tanah Luwu.
Di depan Monumen terhampar luas tambak atau empang yang berisi ikan Bandeng. Kami langsung memesan dan membeli pada pemilik empang. Kamipun disuruh mengambil dengan memukat langsung di tambak.
Setelah menikmati makan siang dengan menu Ikan Bakar Bandeng, kami beristirahat sejenak dibawah pepohonan Mangrove dengan kesejekuan angin laut, Panorama pantai terasa semarak dengan kicau burung yang beterbangan bebas dan kerap hinggap di dahan-dahan dan ranting. Terpukau oleh panorama pantai Lapandoso.
Kami mencoba menuju laut dengan menggunakan perahu balak-balak untuk menyaksikan keindahan karang laut di beberapa titik dengan jarak tempuh cuma 10 menit, dengan catatan pengunjung membawa peralatan menyelam, snorkeling, dan Kamera anti Air untuk menyaksikan aneka ragam keindahan bawah laut, seperti ikan Malaja (jenis lokal), Ikan Kerapu, dan berbagai jenis ikan karang.Kekayaan lautnya dimanfaatkan untuk wisata pemancingan.
Pada waktu-waktu tertentu saat perairan sedang hangat, seperti bulan September-Februari, beberapa jenis ikan yang dalam bahasa setempat menyebutnya dengan Ikan Ampelas, Kakap merah, dan Baba-baba kerap berkumpul dan menjadi obyek wisata yang menarik.
Tak jauh dari karang kami juga mengunjungi nelayan yang sedang menangkap ikan dengan menggunakan jaring yang disebut dengan Banrong. Alat tangkap ini menggunakan menara pengintai yang tingginya sampai 7 meter diatas permukaan air.
Pengelolaan Wisata PantaiKeunggulan Pantai dengan Monumen Lapandoso simbol masuknya Islam di Tanah Luwu terasa menggelitik hati tatkala mengingat Pantai Lapandoso dengan panjang garis pantai 5.000 meter dan kekayaan laut yang memadai, sejatinya memiliki kekayaan bahari yang potensial untuk dikembangkan.
Sayangnya, pengelolaan pariwisata disini sama dengan tempat-tempat lainnya kerap terganjal dengan infrastruktur, transportasi, pengawasan, ataupun promosi yang tidak memadai. Belum lagi, pemanfaatan tempat secara eksklusif kerap ditentang karena tak memberikan imbal balik bagi penduduk lokal, bertentangan dengan nilai history atau religi dan lainnya.
Moh Iksan Nur Mallo, S.Hut anggota peneliti ornitologi dari Universitas Tadulako Palu Jurusan Kehutanan yang berkunjung ke Lapandoso sambil mengamati burung mengakui, keindahan tempat ini tak kalah hebat dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hanya saja, potensi bahari itu belum dikelola secara serius. ”Tempat ini perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pariwisata dan riset mangrove dan biotanya untuk menunjang pariwisata bahari dengan basisi religi dan kultur,” ujarnya.
Pikiran saya pun melayang ke Taka Bonerate di Selayar dengan terumbu karangnya, Tanjung Karang di Donggala Sulawesi Tengah, Jalan Lingkar Kota Palopo, dan obyek wisata menakjubkan lainnya di Indonesia. Andai saja potensi bahari itu digarap serius, barangkali akan mendunia, menyerap lapangan kerja, dan mendatangkan pendapatan bagi negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan Pesan Buat Kami